h36fBKl6IGAl600aLh3XwESUlCJ3z4hPI1YGP78M

Buddha Sidharta Gautama Riwayat Singkat Guru Agung Buddha

Ajaran Buddha Gautama tetap dapat bertahan dengan gemilang dalam menghadapi berbagai kemajuan ilmu pengetahuan. Terdapat cukup banyak penemuan ilmiah yang membuktikan bahwa Ajaran Sang Buddha pada dua puluh lima abad yang lalu telah terbukti adanya sebagaimana yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh Buddha Gautama. Hal ini juga diakui oleh Ilmuwan terkenal Albert Einstein (1879 – 1955) yang menyebutkan " If there is any religion that would cope with modern scientific needs it would be Buddhism.", yang dapat diartikan, bahwa hanya Buddhisme yang dapat menjawab kebutuhan ilmu pengetahuan modern.
Prinsip-prinsip ajaran pokok Sang Buddha, yaitu Cinta Kasih dan Kasih Sayang [Maitri Karuna] memiliki kekuatan revolusioner untuk menggairahkan masyarakat dengan lingkungannya menuju kebaikan. Ajaran Buddha Gautama dipercayai sebagai suatu ajaran yang mengarahkan perdamaian dunia dengan semboyan suci yaitu Cinta Kasih dan Kasih Sayang tanpa perbedaan.
Ajaran Buddha Gautama yang bersifat universal dapat berkembang pesat dan diterima oleh berbagai ragam kebudayaan, karena para penerus Ajaran ini mampu melakukan penyesuaian dalam menyebarluaskan Ajaran tersebut sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat.
Buddha Sidharta Gautama Riwayat Singkat Guru Agung Buddha

Raja Suddhodana Gautama dengan permaisurinya Dewi Mahamaya yang cantik jelita memerintah kerajaan di Kapilawastu bagian selatan pegunungan Himalaya dengan adil dan bijaksana. Walaupun telah menikah 20 tahun lamanya, tetapi belum dikarunia seorang putrapun. Sampai pada suatu malam, Dewi Mahamaya bermimpi melihat seekor gajah putih yang untuk kemudian permaisuri lalu mengandung.
Menurut adat kebiasaan yang berlaku, permaisuri harus melahirkan di rumah orang tuanya, sehingga pada saat akan melahirkan, pergilah Dewi Mahamaya ke istana orang tuanya di kerajaan Koliya. Dalam perjalanan, Dewi Mahamaya berhenti untuk beristirahat di taman Lumbini. Pada saat beristirahat, lahirlah putranya.
Semua orang merasa bahagia, bahkan langit dan bumi seolah-olah turut juga menyambut kegembiraannya atas kelahiran putra Baginda yang jatuh pada saat bulan Purnama Siddhi di bulan Waisak (versi Buddhisme Mahayana, 566 SM hari ke - 8 bulan ke-4 menurut kalender lunar. Versi World Fellowship of Buddhist, bulan Mei tahun 623 SM).
Pada hari ke-lima kelahiran Pangeran, Baginda memberikan nama kepada putranya, Siddharta, yang berarti ‘tercapailah cita-citanya'. Dewi Mahamaya wafat seminggu setelah melahirkan putranya. Adiknya Dewi Mahaprajapati untuk kemudian diserahi tugas dan tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik Pangeran Siddharta.
Pada suatu hari, pertapa Asita yang berdiam di pegunungan dekat istana raja Suddhodana memperhatikan sinar yang memancar terang di istana dan memutuskan untuk mengunjungi istana. Baginda menyambut kedatangan pertapa Asita sambil memperlihatkan putranya. Begitu melihat Pangeran Siddharta, pertapa Asita menangis terharu sambil mengatakan, " Sayang sekali, hamba sudah tua, kelak hamba tidak akan sempat menerima ajaran Sang Buddha, oh! " (Buddha berasal dari Budh, yang artinya kesadaran. Buddha berarti orang yang telah mencapai kesadaran sempurna). Baginda merasa terkejut dan meminta penjelasan lebih lanjut dari pertapa Asita yang menambahkan," Kelak dia akan meninggalkan istana untuk pergi bertapa mencari kesadaran sempurna. Baginda seharusnya bahagia, karena Pangeran adalah Permata Dunia yang mampu membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan. Dia adalah cahaya abadi dunia yang tak kunjung padam ".
Kata-kata pertapa Asita membuat Baginda tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran Siddharta kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan dan pancaroba. Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya Empat Kondisi yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Sehingga Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, " Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini ! ". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya . Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magada untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi sungai Nairanjana yang mengalir dekat hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan, " Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu."
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon Bodhi (Asetta) di hutan Gaya, sambil berprasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan , tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat itu. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur. Sekarang pertapa Gautama menjadi terang dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha [Sammasam-Buddha], tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender Lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Beliau memancarkan enam sinar Buddha [Buddharasmi] dengan warna warni Biru yang berarti bhakti; Kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; Merah yang berarti kasih sayang dan welas-asih; Putih mengandung arti suci; Jingga berarti giat; dan campuran ke-lima sinar tersebut.
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama [Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana], dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukanNya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia.
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, dimana Beliau mengetahui bahwa tiga bulan lagi Beliau akan Parinibbana.
Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon Sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswaNya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
Khotbah Buddha Gautama terakhir mengandung arti yang sangat dalam bagi siswa-siswaNya, yang antara lain :
·         Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha.
·         Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup.
·         Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi.
·         Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran.
·         Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula
           menjadikan seseorang menjadi binatang.
·         Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan.
·         Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha.
·         Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia.
·         Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani.
·         Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan Sempurna.
·         Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran.
·         Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha.
·         Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.
Sang Buddha bersabda, "Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!" (Digha Nikaya II, 156)


Related Posts

Related Posts

1 comment

samsung galaxy